Rabu, 16 April 2014

TUGAS KELOMPOK

NAMA KELOMPOK
DANANG FERRIYANTO (21213993)
IKRAMINA ISNI GHASSANI (24213261)
LAENDA DHIKA DEWI (24213911)
SRI RAMADHANA P (28213622)

DATA PEMBANGUNAN EKONOMI KABINET PADA KABINET INDONESIA BERSATU DARI TAHUN 2004 HINGGA TAHUN 2014

KEPEMIMPINAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2010 mengalami perkembangan yang sangat baik. Terbukti Perekonomian Indonesia mampu bertahan dari ancaman pengaruh krisis ekonomi dan financial yang terjadi di zona Eropa. Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil mendobrak dan menjadi katarsis terhadap kebuntuan tersebut. Korupsi dan kemiskinan tetap menjadi masalah di Indonesia. Namun setelah beberapa tahun berada dalam kepemimpinan Nasional yang tidak menentu Susilo Bambang Yudhoyono telah berhasil menciptakan kestabilan politik dan ekonomi di Indonesia. Namun masalah-masalah lain tetap ada. Pertama, pertumbuhan makro ekonomi yang pesat belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat secara menyeluruh.

Ekonomi
Pada pemerintahan SBY kebijakan yang dilakukan adalah mengurangi subsidi Negara Indonesia, atau menaikkan harga Bahan Bahan Minyak (BBM), kebijakan bantuan langsung tunai kepada rakyat miskin akan tetapi bantuan tersebut diberhentikan sampai pada tangan rakyat atau masyarakat yang membutuhkan, kebijakan menyalurkan bantuan dana BOS kepada sarana pendidikan yang ada di Negara Indonesia. Akan tetapi pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam perekonomian Indonesia terdapat masalah dalam kasus Bank Century yang sampai saat ini belum terselesaikan bahkan sampai mengeluarkan biaya 93 miliar untuk menyelesaikan kasus Bank Century ini.
Kondisi perekonomian pada masa pemerintahan SBY mengalami perkembangan yang sangat baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh pesat di tahun 2010 seiring pemulihan ekonomi dunia pasca krisis global yang terjadi sepanjang 2008 hingga 2009.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 5,5-6 persen pada 2010 dan meningkat menjadi 6-6,5 persen pada 2011. Dengan demikian prospek ekonomi Indonesia akan lebih baik dari perkiraan semula.
Sementara itu, pemulihan ekonomi global berdampak positif terhadap perkembangan sektor eksternal perekonomian Indonesia. Kinerja ekspor nonmigas Indonesia yang pada triwulan IV-2009 mencatat pertumbuhan cukup tinggi yakni mencapai sekitar 17 persen dan masih berlanjut pada Januari 2010.
Salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian Indonesia adalah efektifnya kebijakan pemerintah yang berfokus pada disiplin fiskal yang tinggi dan pengurangan utang Negara.Perkembangan yang terjadi dalam lima tahun terakhir membawa perubahan yang signifikan terhadap persepsi dunia mengenai Indonesia. Namun masalah-masalah besar lain masih tetap ada. Pertama, pertumbuhan makroekonomi yang pesat belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat secara menyeluruh. Walaupun Jakarta identik dengan vitalitas ekonominya yang tinggi dan kota-kota besar lain di Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat, masih banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Tingkat pertumbuhan ekonomi periode 2005-2007 yang dikelola pemerintahan SBY-JK relatif lebih baik dibanding pemerintahan selama era reformasi dan rata-rata pemerintahan Soeharto (1990-1997) yang pertumbuhan ekonominya sekitar 5%. Tetapi, dibanding kinerja Soeharto selama 32 tahun yang pertumbuhan ekonominya sekitar 7%, kinerja pertumbuhan ekonomi SBY-JK masih perlu peningkatan. Pertumbuhan ekonomi era Soeharto tertinggi terjadi pada tahun 1980 dengan angka 9,9%. Rata-rata pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY-JK selama lima tahun menjadi 6,4%, angka yang mendekati target 6,6%.
Kebijakan menaikkan harga BBM 1 Oktober 2005, dan sebelumnya Maret 2005, ternyata berimbas pada situasi perekonomian tahun-tahun berikutnya. Pemerintahan SBY-JK memang harus menaikkan harga BBM dalam menghadapi tekanan APBN yang makin berat karena lonjakan harga minyak dunia. Kenaikan harga BBM tersebut telah mendorong tingkat inflasi Oktober 2005 mencapai 8,7% (MoM) yang merupakan puncak tingkat inflasi bulanan selama tahun 2005 dan akhirnya ditutup dengan angka 17,1% per Desember 30, 2005 (YoY). Penyumbang inflasi terbesar adalah kenaikan biaya transportasi lebih 40% dan harga bahan makanan 18%.Core inflation pun naik menjadi 9,4%, yang menunjukkan kebijakan Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang otoritas moneter menjadi tidak sepenuhnya efektif. Inflasi yang mencapai dua digit ini jauh melampaui angka target inflasi APBNP II tahun 2005 sebesar 8,6%. Inflasi sampai bulan Februari 2006 (YoY) masih amat tinggi 17,92%, bandingkan dengan Februari 2005 (YoY) 7,15% atau Februari 2004 (YoY) yang hanya 4,6%.
Efek inflasi tahun 2005 cukup berpengaruh terhadap tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang menjadi referensi suku bunga simpanan di dunia perbankan.
Data Harga Bahan Bakar Minyak 2004 vs 2009 (Naik)
                               
Harga
2004
2009
Catatan
Minyak Mentah Dunia / barel
~ USD 40
~ USD 45
Harga hampir sama
Premium
Rp 1810
Rp 4500
Naik 249%
Minyak Solar
Rp 1890
Rp 4500
Naik 238%
Minyak Tanah
Rp 700
Rp 2500
Naik 370%




Dengan kondisi harga minyak yang sudah turun dibawah USD 50 per barel, namun harga jual premium yang masih Rp 4500 per liter (sedangkan harga ekonomis ~Rp 3800 per liter). Maka sangat ironis bahwa dalam kemiskinan, para supir angkot harus mensubsidi setiap liter premium yang dibelinya kepada pemerintah. Sungguh ironis ditengah kelangkaan minyak tanah, para nelayan turut mensubsidi setiap liter solar yang dibelinya kepada pemerintah. Dalam kesulitan ekonomi global, pemerintah bahkan memperoleh keuntungan Rp 1 triluin dari penjualan premium dan solar kepada rakyatnya sendiri. Inilah sejarah yang tidak dapat dilupakan. Selama lebih 60 tahun merdeka, pemerintah selalu membantu rakyat miskin dengan menjual harga minyak yang lebih ekonomis (dan rendah), namun sekarang sudah tidak lagi rakyatlah yang mensubsidi pemerintah.
Berdasarkan janji kampanye dan usaha untuk merealisasikan kesejahteraan rakyat, pemerintah SBY-JK selama 4 tahun belum mampu memenuhi target janjinya yakni pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6.6%. Sampai tahun 2008, pemerintah SBY-JK hanya mampu meningkatkan pertumbuhan rata-rata 5.9% padahal harga barang dan jasa (inflasi) naik di atas 10.3%. Ini menandakan secara ekonomi makro, pemerintah gagal mensejahterakan rakyat. Tidak ada prestasi yang patut diiklankan oleh Demokrat di bidang ekonomi.
Pertumbuhan
Janji Target
Realisasi
Keterangan
2004
ND
5.1%
2005
5.5%
5.6%
Tercapai
2006
6.1%
5.5%
Tidak tercapai
2007
6.7%
6.3%
Tidak tercapai
2008
7.2%
6.2%
Tidak tercapai
2009
7.6%
~5.0%
Tidak tercapai *


Tingkat Inflasi 2004-2009 (Naik)
Secara alami, setiap tahun inflasi akan naik. Namun, pemerintah akan dikatakan berhasil secara makro ekonomi jika tingkat inflasi dibawah angka pertumbuhan ekonomi. Dan faktanya adalah inflasi selama 4 tahun2 kali lebih besar  dari pertumbuhan ekonomi.
Tingkat Inflasi
Janji Target
Fakta
Catatan Pencapaian
2004
6.4%
2005
7.0%
17.1%
Gagal
2006
5.5%
6.6%
Gagal
2007
5.0%
6.6%
Gagal
2008
4.0%
11.0%
Gagal

Selama 4 tahun pemerintahan, Demokrat yang terus mendukung SBY tidak mampu mengendalikan harga barang dan jasa sesuai dengan janji yang tertuang dalam kampanye dan RPM yakni  rata-rata mengalami inflasi 5.4% (2004-2009) atau 4.9% (2004-2008). Fakta yang terjadi adalah harga barang dan jasa meroket dengan tingkat inflasi rata-rata 10.3% selama periode 2004-2008. Kenaikan harga barang dan jasa melebihi 200% dari target semula.

Jumlah Penduduk Miskin
Sasaran pertama adalah pengurangan kemiskinan dan pengangguran dengan target  berkurangnya persentase penduduk tergolong miskin dari 16,6 persen pada tahun 2004 menjadi 8,2 persen pada tahun 2009 dan berkurangnya pengangguran terbuka dari 9,5 persen pada tahun 2003 menjadi 5,1 persen pada tahun 2009.

Penduduk Miskin
Jumlah
Persentase
Catatan
2004
36.1 juta
16.6%
2005
35.1 juta
16.0%
Februari 2005
2006
39.3 juta
17.8%
Maret 2006
2007
37.2 juta
16.6%
Maret 2007
2008
35.0 juta
15.4%
Maret 2008
2009
8.2% ????

Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil mencatat, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla memperbesar utang dalam jumlah sangat besar. Posisi utang tersebut merupakan utang terbesar sepanjang sejarah RI.
Koalisi terdiri dari
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Perkumpulan Prakarsa
Perhimpunan Pengembangan Pesantren & Masyarakat (P3M)
Gerakan Anti pemiskinan Rakyat Indonesia
Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal
Pusat Telaah dan Informasi Regional
Asosiasi pendamping Perempuan Usaha Kecil dan
Publish What You Pay
Berdasarkan catatan koalisi, utang pemerintah sampai Januari 2009 meningkat 31 persen dalam lima tahun terakhir. Posisi utang pada Desember 2003 sebesar Rp 1.275 triliun. Adapun posisi utang Janusari 2009 sebesar Rp 1.667 triliun atau naik Rp 392 triliun. Apabila pada tahun 2004, utang per kapita Indonesia Rp 5,8 juta per kepala, pada Februari 2009 utang per kapita menjadi Rp 7,7 juta per kepala. Memerhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, koalisi menilai rezim sekarang ini adalah rezim anti-subsidi. Hal itu dibuktikan dengan turunnya secara drastis subsidi. Pada tahun 2004 jumah subsidi masih sebesar 6,3 persen dari produk domestik bruto. Namun, sampai 2009, jumlah subsidi untuk kepentingan rakyat tinggal 0,3 persen dari PDB.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa Indonesia masih memerlukan banyak perbaikan. Namun apa yang telah dicapai selama ini merupakan hasil dari visi dan perencanaan pemerintahan SBY. Dapat dibayangkan hal-hal lain yang akan terjadi dalam pemerintahan yang akan berjalan untuk beberapa tahun ke depan lagi.
Sedangkan pada Tahun 2014 merupakan tahun krusial bagi Indonesia dan mengingatkan kita semua pada bagaimana ekonomi Indonesia di tahun politik yaitu di tahun 1999, 2004 dan 2009.

Meskipun secara detil, ketiga periode tersebut memiliki karakteristik unik bila dibandingkan dengan tahun 2014, namun terdapat sejumlah trend dan arah kesamaan kondisi diantaranya pembangunan ekonomi dijalankan di tengah persaingan politik.

Bagi pakar ekonomi Prof. Firmanzah PhD, bila dibandingkan dengan 2009, situasi 2014 memiliki kemiripan dimana satu tahun sebelumnya ekonomi nasional menghadapi tantangan yang bersumber eksternal.

“Bila di tahun 2009, kita fokus untuk memitigasi dampak krisis Suprime-Mortgage, di tahun 2014 ekonomi kita juga masih harus memitigasi resiko gejolak pasar keuangan dunia akibat pengurangan stimulus moneter Bank Sentral Amerika Serikat,” kata Firmanzah dalam perbincangan melalui sambungan telepon Senin (20/1) pagi.

Namun secara umum, Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan itu menilai, ekonomi Indonesia satu tahun jelang Pemilu 2014 semakin menunjukkan resiliensi.

Pertumbuhan ekonomi 2013 diperkirakan berada dalam rentan 5,7-5,8 persen. PDB nominal pada 2013 mencapai lebih dari 946 miliar dollar AS. Rasio defisit fiskal terhadap PDB tetap terjaga sehat dibawah 3 persen. Realisasi investasi diperkirakan melampui Rp.
390 triliun. Inflasi 2013 sebesar 8,38 persen jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan inflasi dimana Pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi pada 2005 yaitu sebesar 17 persen dan di tahun 2008 sebesar 11 persen. Cadangan devisa juga semakin menguat dan
mencapai 99,4 miliar miliar dollar AS. Sementara kredit investasi, modal kerja dan konsumsi meskipun mengalami perlambatan namun masih menunjukkan peningkatan yang signifikan.

“Pencapaian ini akan menjadi modal berharga bagi ekonomi Indonesia menghadapi tahun politik 2014,” ujarnya.

Kesimpulan
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo BambangYudhoyono, terjadi banyak kemajuan di berbagai bidang terutama dalam bidang EKONOMI. Hal ini di karenakan kemajuan teknologi dan kebebasan berpendapat membuat kemajuan di bidang ekonomi. Namun, terdapat beberapa kemunduran juga. Kita tidak dapat melihat kesuksesan suatu pemerintahan hanya dengan satu pandangan. Kita harus memandang dari berbagai sisi. Jika dibandingkan dengan pemerintahan pada masa Orde Baru, memang dalam beberapa bidang terlihat kemunduran. Tetapi bisa saja hal ini dikarenakan pada masa Orde Baru kebebasan pers dikekang sehingga bagian buruk pada Orde Baru tidak terlihat. Dimasa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, musyawarah mufakat diutamakan. Walaupun begitu belum banyak target pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sehingga pengambilan kebijakan terkesan lambat. Meski begitu, musyawarah mufakat kini dilakukan untuk kepentingan bersama dan juga dukungan serta kerjasama mendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sehingga dapat dikatakan, pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah cukup berkembang dibandingkan masa-masa sebelumnya dalam hal demokrasi.

REFERENSI:
http://setkab.go.id/berita-11805-firmanzah-prospek-ekonomi-2014-mirip-dengan-situasi-2009.html
http://saripasisa.blogspot.com/2012/11/kondisi-perekonomian-indonesia-pada_4629.html

Kamis, 03 April 2014

EKONOMI INDONESIA

Pendapat saya mengenai ekonomi Indonesia ini makin banyak perkembangan tentang pemahaman tentang sistem ekonomi Indonesia. Hal ini menyebabkan bahwa adanya sistem kapitalisme barat yang sangat memikat orang-orang Indonesia untuk mengikutinya atau bisa dibilang memperbudaknya. Indonesia menganut sistem demokratis yang terus menerus berkembang. Terkadang saya setuju dengan adanya sistem kapitalisme yang muncul di Indonesia karena dari masing-masing sistem pasti memiliki keunggulan dan kekurangannya, tinggal kita yang memilih ingin mengikuti sistem yang mana. 

Kalau menurut sistem ekonomi Indonesia tentang hak milik yang berfungsi sosial dan kebebasan memilih jenis pekerjaan, saya sih kurang setuju karena tindakan itu tidak adil, contohnya seperti yang tidak bekerja keras ikut merasakan hasil jerih payah dari orang yang bekerja kers banting tulang. 
perekonomian Indonesia juga belum baik dan merata dikarenakan masih banyak rakyat-rakyat miskin yang merajalela susah payah mencari nafkah hanya untuk sebungkus nasi. Pemerintah sekarang hanya mengurusi keluarganya sendiri tanpa melihat rakyat yang miskin itu. 

SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA


Era orde lama ( 1945 – 1966 )

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun demikian, tidak berarti dalam prakteknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan bisa memberi perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi. Karena hingga menjelang akhir 1940-an, Indonesia masih menghadapi dua peperangan besar dengan Belanda. Setelah akhirnya pemerintahan Belanda mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia, selama dekade 1950-an hingga pertengahan tahun 1965, Indonesia dilanda gejolak politik di dalam Negeri dan beberapa pemberontakan di sejumlah daerah, seperti di Sumatera dan Sulawesi. Akibatnya, selama pemerintahan orde lama, keadaan Perekonomian Indonesia sangat buruk, walaupun sempat mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata per tahun hampir 7% selama decade 1950-an, dan setelah itu turun drastis menjadi rata-rata per tahun hanya 1,9% atau bahkan nyaris mengalami stagflasi selama tahun 1965-1966. Tahun 1965 dan 1966 laju pertumbuhan ekonomi atau produk Domestic Bruto (PDB) masing-masing hanya sekitar 0,5% dan 0,6%.

Selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak tahun 1958, defisit Saldo Neraca Pembayaran (BOP) dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintahan (APBN) terus membesar dari tahun ke tahun.

Selain tu, selama periode orde lama, kegiatan produksi di Sektor Pertanian dan Sektor Industri Manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun nonfisik seperti pendanaan dari Bank. Akibat rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300% menjelang akhir periode orde lama.

Dapat disimpulkan bahwa buruknya Perekonomian Indonesia selama pemerintahan orde lama terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun nonfisik selama pendudukan Jepang, perang dunia, dan perang revolusi, serta gejolak politik di dalam Negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah), ditambah lagi dengan manajemen ekonomi makro yang sangat jelek selama rezim tersebut. Dapat dimengerti bahwa dalam kondisi politik dan sosial dalam Negeri ini sangat sulit sekali bagi pemerintah untuk mengatur roda perekonomian dengan baik.

Kebijakan ekonomi paling penting yang dilakukan kabinet hatta adalah reformasi moneter melalui devaluasi mata uang nasional yang pada saat itu masih gukden dan pemotongan uang sebesar 50% atas semua uang kertas yang beredar pada bulan maret 1950 yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank yang bernilai nominal lebih dari 2,50 gulden Indonesia. Pada masa kabinet natsir (cabinet pertama dalam negara Kesatuan Republik Indonesia), untuk pertama kalinya dirumuskan suatu perencanaan pembangunan ekonomi, yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). RUP ini digunakan oleh kabinet berikutnya merumuskan rencana pembangunan ekonomi lima tahun (yang pada masa orde baru dikenal dengan singkatan repelita). Pada masa kabinet Sukiman, kebijakan-kebijakan penting yang diambil adalah antara lain Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (BI) dan penghapusan sistem kurs berganda. Pada masa kabinet Wilopo, langkah-langkah konkret yang diambil untuk memulihkan Perekonomian Indonesia saat itu diantaranya untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep anggaran berimbang dalam APBN, memperketat impor, malakukan “rasionalisasi” angkatan bersenjata melalui medernisasi dan pengurang jumlah personil, dan pengiritan pengeluaran pemerintah. Pada masa kabinet ami, hanya dua langkah konkret yang dilakukan dalam bidang ekonomi walaupun kurang berhasil, yakni pembatasan impor dan kebijakan uang ketat. Selama kabinet Burhanuddin, tindakan-tindakan ekonomi penting yang dilakukan termasuk diantaranya adalah liberalisasi impor, kebijkan uang ketat untuk menekan laju uang beredar, dan penyempurnaan program benteng, mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan modal (investasi) asing masuk ke Indonesia, pemberian bantuan khusus kepada pengusaha-pengusaha pribumi, dan pembatalan (secara sepihak) persetujuan konferensi meja bundar sebagai usaha untuk menghilangkan sIstem ekonomi kolonial atau menghapuskan dominasi perusahaan-perusahaan Belanda dalam Perekonomian Indonesia.


Berbeda dengan kabinet-kabinet sebelumya di atas, pada masa kabinet Ali, praktis tidak ada langkah-langkah yang berarti selain mencanangkan sebuah rencana pembangunan baru dengan nama rencana lima tahun 1956-1960. Kurang aktifnya kabinet ini dalam bidang ekonomi disebabkan oleh keadaan politik di dalam Negeri yang mulai goncang akibat bermunculan tekanan-tekanan dari masyarakat daerah-daerah di luar Jawa yang selama itu tidak merasa puas dengan hasil pembangunan di Tanah Air. Ketidakstabilan Politik di dalam Negeri semakin membesar pada masa kabinet Djuanda, sehingga praktis kabinet ini juga tidak bisa berbuat banyak bagi pembangunan ekonomi. Perhatian sepenuhnya dialihkan selain untuk menghadapi ketidakstabilan politik di dalam Negeri juga pada upaya pengambilan wilayah Irian Barat dari Belanda. Pada masa kabinet Djuanda juga dilakukan pengambilan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan Belanda.


Dilihat dari aspek politiknya selama orde lama, dapat dikatakan Indonesia pernah mengalami sistem politik yang sangat demokratis, yakni pada periode 1950-1959, sebelum diganti dengan periode demokrasi terpimpin. Akan tetapi sejarah Indonesia menunjukkan bahwa sistem politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik. Konflik politik tersebut berkepanjangan sehingga tidak memberi sedikit pun kesempatan untuk membentuk suatu kabinet pemerintah yang solid dan dapat bertahan hingga pemilihan umum berikutnya. Pada masa politik demokrasi itu (demokrasi parlemen), tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur setiap kabinet hanya satu tahun saja. Waktu yang sangat pendek dan disertai dengan banyaknya keributan tenang bagi pemerintah yang berkuasa untuk memikirkan bersama masalah-masalah sosial dan ekonomi yang ada pada saat itu, apalagi menyusun suatu program pembangunan dan melaksanakannya.

Selama periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sektor formal / modern seperti pertambangan, distribusi, transportasi, Bank, dan pertanian komersil yang memiliki kontribusi lebih besar daripada sektor informal/tradisional terhadap output nasional atau PDB didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing kebanyakan berorientasi ekspor. Pada umumnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang masih dikuasai oleh pengusaha asing tersebut relatif lebih padat kapital dibandingkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha pribumi dan perusahaan-perusahaan asing tersebut beralokasi di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya.

Struktur ekonomi seperti yang digambarkan di atas, yang boleh boeke (1954) disebut dual socities, adalah salah satu karakteristik utama dari ldcs yang merupakan warisan kolonialisasi. Dualisme di dalam suatu ekonomi seperti ini terjadi karena biasanya pada masa penjajahan pemerintah yang berkuasa menerapkan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakannya, baik yang bersifat langsung, seperti mengeluarkan peratura-peraturan atau undang-undang maupun yang tidak langsung. Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk membuat perbedaan dalam kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara penduduk asli dan orang-orang nonpribumi / nonlokal.

Keadaan ekonomi Indonesia, terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing Belanda menjadi lebih buruk dibandingkan keadaan ekonomi semasa penjajahan Belanda, ditambah lagi dengan peningkatan inflasi yang sangat tinggi pada dekade 1950-an. Pada masa pemerintahan Belanda, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dengan tingkat inflasi yang sangat rendah dan stabil, terutama karena tingkat upah buruh dan komponen-komponen lainnya dari biaya produksi yang juga rendah, tingkat efisiensi yang tinggi di sektor pertanian (termasuk perkebunan), dan nilai mata uang yang stabil.

Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang dilakukan pada Tahun 1957 dan 1958 adalah awal periode ‘ekonomi terpimpin’. Sistem politik dan ekonomi pada masa orde lama, khususnya setelah ‘ekonomi terpimpin’ dicangangkan, semakin dekat dengan haluan / pemikiran sosialis / komunis. Walaupun ideology Indonesia adalah pancasila, pengaruh ideologi komunis dan negara bekas Uni Soviet dan Cina sangat kuat. Sebenarnya pemerintah khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang memilih haluan politik berbau komunis, hanya merupakan suatu refleksi dari perasaan antikolonialisasi, antiimprelisasi, dan antikapitalisasi pada saat itu. Di Indonesia pada masa itu, prinsip-prinsip individualism, persaingan bebas, dan perusahaan swasta / pribadi sangat ditentang, karena oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya, prinsip-prinsip tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme. Keadaan ini membuat Indonesia semakin sulit mendapat dari negara-negara barat, baik dalam bentuk pinjaman maupun Penanaman Modal Asing (PMA), sedangkan untuk membiayai rekonstruksi ekonomi dan pembangunan selanjutnya, Indonesia sangat membutuhkan dana penanaman modal asing di Indonesia berasal dari Belanda, yang sebagian besar untuk kegiatan ekspor hasil-hasil perkebunan dan pertambangan serta untuk kegiatan-kegiatan ekonomi yang terkait.

Selain kondisi politik di dalam Negeri yang tidak mendukung, buruknya Pereknomian Indonesia pada masa pemerintahan orde lama juga disebabkan oleh keterbatasan faktor-faktor produksi, seperti orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan/keterampilan yang tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh industri), teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun rencana dan strategi pembangunan yang baik. Menurut pengamatan higgins (1957) sejak kabinet pertama dibentuk setelah merdeka, pemerintah Indonesia memberikan prioritas pertama terhadap stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi, pembangunan industri, unifikasi dan rekonstruksi. Akan tetapi, akibat keterbatasan akan faktor-faktor tersebut diatas dan dipersulit lagi oleh kekacauan politik nasional pada masa itu, akhirnya pembangunan atau bahkan rekonstruksi ekonomi indonesia setelah perang revolusi tidak pernah terlaksana dengan baik.

Pada akhir September 1965, ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa berdarah tersebut terjadi suatu perubahan politik yang drastis di dalam negeri, yang selanjutnya juga mengubah sistem ekonomi yang dianut Indonesia pada masa orde lama, yakni dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis (kalau tidak, dapat dikatakan ke sistem kapitalis sepenuhnya). Sebenarnya perekonomian indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 menganut suatu sistem yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi berdasarkan ideologi pancasila. Akan tetapi, dalam praktek sehari-hari pada masa pemerintahan orde baru dan hingga saat ini, pola perekonomian nasional cenderung memihak sistem kapitalis, seperti di Amerika Serikat (AS) atau negara-negara industri maju lainnya. Karena pelaksanaannya tidak baik, maka mengakibatkan munculnya kesenjangan ekonomi di tanah air yang terasa semakin besar hingga saat ini, terutama setelah krisis ekonomi.


  1. Perekonomian berkembang kurang menggembirakan: kehidupan politik tidak stabil (pergantian kabinet )
  •  defisit anggaran belanja negara terus meningkat (cetak uang baru > inflasi – sejak 1955)
  •  nasionalisasi perusahaan asing 1951 / 1958 (UU no 78 / 1958 tentang investasi asing > tutupnya bursa efek jakarta > pelarian kapital )
  •  hilangnya Pangsa Pasar ( gula, karet alam dll ) dalam Perdagangan Internasional ( ekspor < 10% pdb > neraca pembayaran tertekan > depresiasi rupiah )
  •  kejanggalan sistem moneter ( Bank merupakan hasil nasionalisasi termasuk BI ( De Javasche Bank ), BI ( 1953 ) berfungsi : (1) menstabilkan nilai mata uang (2) mengatur sirkulasi uang (3) mengawasi dan mengembangkan perbankan dan kredit, memasok kredit / premi kepada pemerintah sebesar 30% dari penerimaan pemerintah 1957/58, sistem pengendalian kurs.


Masa peralihan ( 1966 – 1968 )

Pada  Tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan ‘jual’ karena mereka para investor asing tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka pendek. Pemerintan Thailand meminta bantuan IMF. Pengumuman itu mendepresiasikan nilai baht sekitar 15% hingga 20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 baht per dolar AS.

Apa yang terjadi di thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa Negara Asia lainnya. Rupiah Indonesia mulai merendah sekitar pada bulan Juli 1997, dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.950 per dolar AS. Nilai Rupiah dalam dolar mulai tertekan terus dan pada tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai rekor terendah, yakni Rp 2.682 per dolar AS sebelum akhirnya ditutup Rp 2.655 per dolar AS. Pada tahun 1998, antara bulan Januari-Februari sempat menembus Rp 11.000 per dolar AS dan pada bulan Maret nilai rupiah mencapai Rp 10.550 untuk satu dolar as.

Nilai tukar rupiah terus melemah, pemerintah orde baru mengambil beberapa langkah konkret, antaranya menunda proyek-proyek senilai rp 39 triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja. Pada tanggal 8 Oktober 1997, pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari IMF.

Pada Oktober 1997, Lembaga Keuangan Internasional itu mengumumkan paket bantuan keuangan pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dolar AS. Pemerintah juga mengumumkan pencabutan izin usaha 16 Bank swasta yang dinilai tidak sehat sehinnga hal itu menjadi awal dari kehancuran perekonomian Indonesia.

Krisis rupiah yang akhirnya menjelma menjadi krisis ekonomi memunculkan suatu krisis politik. Pada awalnya, pemerintahan yang dipimpin Presiden Soeharto akhirnya digantikan oleh wakilnya, yakni B.J. Habibie. Walaupun, Soeharto sudah turun dari jabatannya tetap saja tidak terjadi perubahan-perubahan nyata karena masih adanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sehingga pada masa Presiden Habibie masyarakat menyebutnya pemerintahan transisi.





Sumber : virgiawanbbs.blogspot.com/2012/03/perekonomian-orde-lama.html